"SELAMAT DATANG"

Selamat Membaca

Selasa, 19 Oktober 2010

`PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN (OUT OF COURT SETTLEMENT) TERHADAP TINDAK PIDANA DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM KASUS CANDRA HAMZAH DAN BIBIT SELAM

`PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN (OUT OF COURT SETTLEMENT) TERHADAP TINDAK PIDANA DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM KASUS CANDRA HAMZAH DAN BIBIT SELAMET RIANTO SELAKU PEJABAT KPK DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara hukum hal ini dapat dilihat dari kedaulatan tertinggi di negara indonesia berada ditangan rakyat sebagai konsekuensi logis dari system negara hukum (statt rech) yang mengharuskan adanya pembagian kekusaan (share of power), dengan begitu kekuasaan Negara tidak dimiliki oleh satu lembaga tertentu melainkan adanya pembagian antara legislatief, eksekutif dan yudikatief sehingga memungkinkan dilakukannya Supremacy of law, Equality before the law, dan konstitusi yang berdasarkan hak-hak asasi manusia, ketiga hal ini merupakan ciri dari Negara hukum.[1]

Penghakuan sebagai negara hukum ini juga merupakan pengakuan terhadap legalitas sebagaimana dikemukakan oleh Indriyanto Seno Adji:

Pada karakteristik akhir Rule of Law inilah terjadi pergeseran paradigma dari kekuasaan asas Separation of Power kearah legitimasi adanya distribution of power atau shering of power, suatu arah yang tak terhindari pada era demokrasi dalam proses penegakan hukum, khususnya pengakuan dan eksistensi kejaksaan sebagai lembaga negara yang independen, bukan menjadi bagian lembaga pemerintahan yang secara teknis penuh intervensi berbagai kepentingan.[2]

Sistem ketatatnegaraan kita tentunya tidak akan lepas dari konstitusi yang ada sebagai aturan main (rule of the game) yang sudah disepakati bersama, oleh karena itu dalam melaksanakan kekuasaannya harus berdasarkan pada peraturan dan ketentuan yang ada sebagai legitimasi dari perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai aparatur negara yang memiliki tugas untuk melayani, mensejahterakan masyarakat berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pelaksanaan kehidupan bernegara seperti ini juga dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto sebagai berikut;

“Negara harus tunduk pada hukum Positif bukan hukum positif yang harus tunduk pada Negara. Karena hal inilah sebenarnya yang menjadi subtansi pokok doktrin dari supremasi hukum (rule of law atau recht-staats) yang dijadikan sebagai pedoman dasar bernegara”.[3]

Perkembangan dan kemajuan masyarakat yang selalu lebih cepat daripada perkembangan hukum, senantiasa menuntut pembaharuan didalam hukum itu sendiri ataupun dalam penegakannya agar sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan didalam masyarakat. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai yang berlaku dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan hukum itu merupakan pencerminan dari nilai nilai yang berlaku dalam masyarakat, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law)[4].

Tuntutan masyarakat terhadap supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru masyarakat dalam melihat tujuan dan fungsi, wewenang dan tanggung jawab aparatur Negara Republik Indonesia. Aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat mengenai realisasi tugas dan tanggung jawab yang diembannya yang direfleksikan melalui sistem bertingkat, yaitu mulai dari lembaga yang lebih tinggi yang memiliki tanggung jawab sampai pada lembaga yang ada dibawahnya baik itu dari segi pengawasan program kebijakan yang diambil atau dalam posisi jabatan antara atasan yang diharuskan melaksanakan kontrol terhadap bawahan yang ada dibawahnya.

Pada tingkat seperti ini, benturan kepentingan antara profesionalisme dan ketaatan pada sistem dan atau atasan tidak dapat dihindarkan karena keduanya seakan-akan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, secara teoritis komitmen memang berbeda dengan loyalitas, dimana loyalitas cenderung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecenderungan penguasa pimpinan untuk menyalahgunakan loyalitas tersebut (Abuse of power). Oleh karena itu pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan, kesadaran sebagai bagian dari integritas atau dedikasi daripada rasa takut, dan didasarkan kepada komitmen daripada loyalitas. Dewasa ini tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan pekerja.

Adrianus Meliala mengatakan mengenai proses penegakan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

“Bahwa dalam kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum terhadap peradilan, sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil”.[5]

Reformasi yang menyeluruh dalam segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membuat penegakan hukum sebagai bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga harus ikut berubah, baik itu dengan pembaharuan hukum ataupun perubahan paradigma dari penegak hukumnya itu sendiri.

Pelaksanaan penegakan hukum ini Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa :

“Badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum”.[6]

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi selama ini dijalankan secara biasa atau secara konvensional sehingga dalam pelaksanaanya mengalami berbagai hambatan, baik itu dari peraturan dan ketentuan hukum yang mengaturnya ataupun dalam mekanisme pelaksanaan peraturan perundang-undangannya, kalaupun ada yang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi diluar kebiasaan seperti yang dilakukan oleh KPK, maka hal tersebut dianggap seolahseolah melanggar kewenangan yang diberikan dan atau melanggar hukum, padahal pemberantasan tindak pidana korupsi harus menggunakan metode penegakan hukum secara luar biasa dengan wewenang yang sangat luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dilaksanakan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.

Indiarto Seno Adji mengatakan tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

Kejahatan ini dianggap sering dianggap sebagai “Beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (“high level economic”) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic), baik birokrat economi maupun pemerintahan[7].

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime).[8] Hal ini dikarenakan Korupsi bukan hanya merusak keuangan negara akan tetapi juga merusak mentalitas bangsa sehingga menumbuh kembangkan praktek-praktek kolusi dan nepotisme, gangguan terhadap stabilitas pembangunan nasional dan keharmonisan hubungan interaksi sosial masyarakat, korupsi juga merupakan kekerasan negara terhadap masyarakatnya dengan cara mengambil hak-hak masyarakat.

Syaiful Bakhri lebih lanjut menjelaskan tentang tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Korupsi merupakan kegiatan yang diam-diam dapat merusak perkembangan good governance, secara umum ada beberapa macam bentuk korupsi yang seringkali ditemukan didalam praktik, antara penyuapan (bribery), penggelapan (embezzlement), spekulasi (speculation), dukungan dan nepotisme (patronage and nepotism), dan benturan kepentingan (conflict of interest)[9]

Harus diakui bahwa selama ini seakan-akan institusi hukum kita baik itu kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga advokat, semuanya mengungkap kejahatan dalam jeratan formalisme dogmatika hukum. Padahal saat ini kejahatan tidak hanya terjadi di tempat-tempat lazimnya terjadi kejahatan, begitupun dengan kejahatan tindak pidana korupsi, bahkan sekarang ini korupsi seakan akan menjadi trendsetter yang biasa dilakuakan terlebih bagi mereka yang memiliki kekuasaan baik sewasta maupun pegawai negeri, dari ruang lingkup yang terkecil hingga ruang lingkup yang lebih besar, korupsi tampil dengan model dan gaya yang beranekaragam. Tindak pidana korupsi selalu berusaha menemukan tempat melalui pencitraan yang disengaja oleh kekuatan tertentu sehingga korupsi yang dilakukan tidak terlihat bahkan bila perlu dianggap sebagai bukan kejahatan atau disebut simulasi kejahatan[10].

Kejahatan yang dilakukan oleh Aparatur Negara dikatakan Anthon F. Susanto dalam bukunya Semiotika Hukum sebagai berikut: [11])

“…apabila sebuah perbuatan dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan tertentu dengan dalih aturan yang mendukung. Perbuatan itu menjadi sulit untuk dikualifikasikan sebagai kejahatan, meskipun perbuatan tersebut dapat menimbulkan berbagai kerugian moril maupun meteriil. Hal demikian itu dipandang lumrah (paling tidak menurut sebagian orang) karena aturan biasanya menunjuk kepada orang lain, bukan terhadap penegak hukum atau pembuat aturan. Memukul pedagang kaki lima atas nama hukum dan ketertiban, menganiaya pencuri untuk memperoleh pengakuan, memanipulasi bukti untuk memenangkan perkara, membunuh demi keamanan dan banyak lagi model lain yang serupa. Ini disebut ‘false sense on normalcy’, perbuatan yang salah namun dianggap normal. Kita dapat menyebut pandangan ini sebagai pandangan klasik dan positivistik terhadap kejahatan”.

Terbongkarnya kasus suap dan pemerasan “mafia peradilan” [12].yang melibatkan oknum aparat penegak hukum baik itu kepolisian, Kejaksaan seakan-akan menjadi triger (pemicu) rivalitas antara KPK dengan Kejaksaan sehinggga menimbulkan konflik yang berkepanjangan, baik itu melalui statment di media, baik KPK di satu pihak maupun Kepolisian, Kejaksaan masing-masing merasa diri lebih baik dari Instansi yang lain dalam hal memberantas tindak pidana Korupsi, sehingga di daerah tertentu dan kasus tertentu terjadi perseteruan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

Ketiga lembaga baik itu Kepolisian, Kejaksaan ataupun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merasa memiliki kewenangan yang sama untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi, Kepolisian, Kejaksaan, KPK berdasarkan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang masing masing instansi tersebut yakni Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN Republik Indonesia sedangkan KPK merasa memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Padahal dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sebagai jelas dikatakan bahwa KPK memiliki kewenangan penuh dalam hal pemberantasan tindak Pidana Korupsi.

Kasus terakhir yang melibatkan institusi penegak hukum ini adalah perseteruan antara oknum POLRI dengan KPK yang melibatkan oknum KEJAKSAAN yang dikenal dengan istilah “Cicak vs Buaya” dimana perseteruan tersebut dianggap seolah olah upaya dari POLRI dan KEJAKSAAN untuk mengkriminalisasi KPK sebagaimana yang terungkap dalam pemutaran rekaman penyadapan yang dialakukan oleh KPK terhadap tersangka tindak Pidana Korupsi yang diputar di sidang judicial review terhadap Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Konstitusi.

Pemutaran rekaman tersebut menuai pro dan kontra baik itu dari dasar hukum pemutaran rekaman di pengadilan MK, ataupun karena dalam pemutaran tersebut terkuak kebobrokan penegakan hukum di Indonesia yang masih diwarnai “jual beli” kasus sehingga mengundang kemarahan masyarakat banyak yang menggantungkan harapannya tentang keadilan dan penegakan hukum di Indonesia terhadap KPK sebagai lembaga independen yang diharapkan akan dapat memberantas korupsi yang melibatkan ekonomi kelas atas (“high level economic”) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic), baik birokrat economi maupun pemerintahan[13].

Berdasarkan fakta fakta yang ada, semua kemungkinan masih bisa terjadi. Bisa jadi POLRI yang benar bahwa ada praktek penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dilakukan Candra Hamzah dan Bibit Slamad Rianto, atau juga KPK yang benar bahwa telah terjadi Mafia peradilan jilid II yang dilakukan oleh oknum POLRI dan oknum KEJAKSAAN sebagaimana yang terdapat dalam rekaman KPK berikut dengan sekenario menjerat para pimpinan KPK untuk dimasukan kedalam penjara.

Apabila dilihat dari kasusnya itu sendiri maka sebenarnya kasus candra-bibit ini merupakan kasus pemerasan biasa namun penangananya sangatlah luar biasa karena melibatkan semua elemen yang ada baik itu organisasi mahasiswa, organisasi masayarakat, LSM, Media massa baik cetak maupun elektronik yang membentuk opinion masyarakat bahkan dengan menggunakan institusi Negara sehingga presiden (lembaga exsekutif) sampai ikut terlibat dalam penyelesaian kasus ini dengan memerintahkan kejaksaan agung agar kasus ini diselesaikan diluar pengadilan, padahal kasus ini merupakan kasus pidana bukan kasus perdata.

Kesan kemudian yang muncul terhadap kasus ini adalah bentuk penyelesaiannya berdasarkan pendekatan politis bukan berdasarkan pendekatan hukum, karena secara kasat mata kita dapat melihat bagaiamana proses penegakan hukum dalam kasus ini telah di intervensi oleh kepentingan tertentu. Padahal terhadap posisi tersangka, ada asas nullum crimen sine lege yang artinya tiada kejahatan dapat dihukum sebelum diatur dalam Undang-undang. selain asas ini, seorang tersangka perkara pidana juga dapat memakai asas fair trial yaitu minta diberlakukan pemeriksaan (peradilan) yang berimbang. Sebagai seorang tersangka, Candra-Bibit bersama para lawyernya dapat menuntut adanya asas kesamaan orang di depan hukum atau equality before the law.

Akumulasi keprihatinan menyaksikan carut marutnya penegakan hukum di negeri ini, dan berdasarkan pengamatan seksama berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk membuat penulisan hukum dan membahasnya dalam bentuk Skripsi dengan judul: PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN (OUT OF COURT SETTLEMENT) TERHADAP TINDAK PIDANA DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM KASUS CANDRA HAMZAH DAN BIBIT SELAMET RIANTO SELAKU PEJABAT KPK DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah Proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan dalam kasus candra bibit sudah sesuai dengan mekanisme dan ketentuan hukum yang ada atau dapat digolongkan sebagai Rekayasa Kejahatan?

2. Apakah proses penghentian penuntutan oleh kejaksaan agung atas permintaan presiden sesuai dengan ketentuan hokum?

3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari kasus candra bibit terhadap penegakan hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai Proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan dalam kasus candra bibit sudah sesuai dengan mekanisme dan ketentuan hukum yang ada, atau dapat digolongkan sebagai Rekayasa Kejahatan.

2. Untuk mengetahui penghentian penuntutan oleh kejaksaan agung atas permintaan presiden sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak.

3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kasus Candra Bibit terhadap penegakan hukum di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan, yaitu:

1. Kegunaan teoritis

a. Dari segi teoritis akademis, penulisan ini diharapkan berguna bagi pengembangan teori ilmu hukum, penajaman dan aktualisasi ilmu hukum pidana lebih khusus tentang penyelesaian diluar pengadilan (out of court settlement) terhadap tindak pidana pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.

b. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya mengenai penyelesaian diluar pengadilan (out of court settlement) terhadap tindak pidana pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.

2. Kegunaan praktis

a. Secara praktis, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi penulis secara pribadi sebab penelitian ini bermafaat dalam menambah keterampilan guna melakukan penelitian hukum.

b. Bagi pejabat/aparat penegak hukum, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pengembangan konsep pembaharuan hukum pidana (KUHP) maupaun Hukum Acara Pidana serta menjadi acuan dalam menangani sengketa akibat pemerasan dan atau kewenangan .

c. Bagi masyarakat diharapkan bermanfaat sebagai masukan konstruktif dalam membentuk budaya tertib dan adil sesuai aturan hukum, lalu secara bersama-sama meninggalkan kecurangan atau kebohongan yang selama ini banyak terjadi dalam praktik.

d. Bagi Pemerintah khususnya aparat penegak hukum Mudah – mudahan dapat melakukan perubahan paradigma dalam melaksanakan Tugas dan fungsinya sesuai dengan perubahan dinamika yang terjadi dalam memenuhi keadilan masyarakat. Sehingga dapat melaksanakan Tugas dan fungsinya secara profesional, manusiawi dan berkeadilan.

E. Kerangka Pemikiran

Meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai upaya mewujudkan keamanan dan ketertiban serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah merupakan salah satu tujuan dari berdirinya Negara Indonesia sebagaimana yang tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea ke empat sebagai berikut :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[14]

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto menyatakan pendapatnya mengenai makna yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat tersebut, yaitu :

“Pembukaan alinea keempat ini menjelaskan tentang Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang luhur dan murni ; luhur, karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomis, ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak partikular.”[15]

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia meletakan dasar tentang nilai keakemanusiaan dan keadilan, hal ini tersurat dalam sila ke-2 dan ke 5 yaitu:

Sila ke 2: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”

Sila ke 5 : “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV menjelaskan bahwa:

“Setiap orang memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hukum

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur di dalam Undang- undang Nomor 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal-hal tersebut telah dirumuskan kembali sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan pasal 16, selain itu dalam pasal 2 dan pasal 3 dicantumkan kata "dapat" sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan bukan dengan timbulnya akibat kerugian negara atau perekonomian negara[16].

Sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 43 Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999, telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk untuk menegakan lembaga peradilan dalam kerangka sistem peradilan yang bersih dan terpercaya, merupakan agenda prioritas terutama berkaitan dengan semakin gencarnya tuntutan reformasi hukum terhadap kinerja peradilan yang semakin lama semakin merosot akibat dari adanya praktek KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) di lembaga peradilan sehingga menimbulkan Trust masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini seakan akan hilang karena dalam beberapa hal hukum hanya dapat ditegakan untuk masyarakat biasa saja, sedangkan masyarakat tertentu seakan akan tidak tersentuh oleh hukum, terlebih apabila yang terjerat hukum adalah orang yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kekuasaan, hal ini lah yang menjadi dasar dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Indriyatno Seno Adji yang menyadur Pendapatnya Romli Atmasasmita yang mengatakan:

“KPK Merupakan mekanisme pemicu dalam pemberantasan korupsi, karena masyarakat menganggap kepolisian dan kejaksaan pesimistis dan tertutup, mengingat pelaku merupakan orang yang masih berada dalam suatu keterikatan lingkaran dalam kekuasaan yudikatif, legislative dan eksekutif, dengan hadirnya KPK ini, dihindari upaya lingkaran luar sebagai penggali skandal yang justru akan ditempatkan sebagai tersangka, dengan adanya KPK diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi tidak terjadi lagi”.[17]

Kebijakan peningkatan kualitas peradilan tentunya terkait dengan aspek yang mempengaruhi kualitas penegakan hukum itu sendiri, faktor- faktor tesebut diantaranya mmencakup kualitas individual (SDM), kualitas institusional atau kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja atau manajemen, kualitas subtansi hukum/undang-unang dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)”.[18]

Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara akan tetapi korupsi juga merusak system ketatanegaraan sehingga tidak mudah mewujudkan good governance, terlebih pada era transisi demokratis seperti sekarang ini. Dimana korupsi merupakan bagian yang membutuhkan suatu pembaharusn terhadap system yang dianggap telah terkontaminasi dengan kekuasaan. Kekuasaan menyebabkan korupsi birokratis yang berkepanjangan, melumpuhkan suatu kekuasaan itu sendiri.

Indriyatno Seno Adji mengatakan tentang korupsi kelembagaan sebagai berikut:

“Korupsi kelembagan selalu merusak system ketatanegaraan dan prekonomian negara maka, diperlukan beberapa hal, Pertama; Melakukan tindakan terintegrasi lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system. Artinya, diantara penegak hukum harus memiliki suatu balance and equal of fower, suatu kewenanganyang berimbang dan sama diantara penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegak hukum terhadap korupsi”.[19]

Adanya penempatan suatu badan atau lembaga secara proporsional akan memantapkan kewenangan lembaga pemerintahan yang sesuai dengan asas pemerintahan yang baik sebagai asas yang berkaitan erat dengan kewenangan kelembagaan, seperti “asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence)”. Dengan demikian tidak boleh menggunakan kewenangan itu selain dari pada tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan tersebut.

Parsudi mengatakan tentang good governance yang seharusnya dilakukan apatur Negara yakni :

“Konsep Pemerintahan yang baik (good governance) tersebut dapat terwujud jika pemerintahan dilaksanakan dengan transparan, rensponsif, partisipatif, taat pada ketentuan hukum (rule of law), berorientasi pada consensus, adanya kebersamaan, akuntabilitas dan memiliki visi yang strategis”[20].

Kongres PBB Ke VIII tentang Prevention crime and Treatment of Offenders di Havana, Kuba, antara lain disoroti Crime Trend yang membahayakan dan merugikan pihak lain, seperti abuse of power (Penyalahgunaan kekuasaan) sebagai bentuk dari crime by government. Diingatkan corrupt activities of public official can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes, hinder development and victimize individuals groups., Selanjutnya Kongres PBB meetapkan juga suatu bentuk dari Anti Corruption as high priorities in economic and social development plan.[21]

Bentuk dari Anti Corruption ini telah terwujud pada beberapa Negara, seperti dengan Anti Corruption Agency (Badan Pencegah Rasuah) dan Korea Selatan dengan Special Investigatory Agency yang tanpa pandang bulu telah menyeret putra Presiden Korea Selatan maupun mantan Presiden Korea Selatan ke pengadilan Tindak Pidana, Sementara di Indonesia ada Komisi Pemberantas Korupsi, yang memiliki kewenangan dalam penyidikan tidak tak terbatas, untuk melakukan penyadapan, penyitaan dan lain lain sesuai dengan yang diberikan oleh Undang-undang.

Didalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 6 disebutkan bahwa Tugas dari KPK adalah:

Pasal 6

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kewenangan yang dimiliki oleh KPK dalam hal melakukan penmyidikan tindak Pidana Korupsi diatur didalam ketentuan pasal 12 Ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai berikut:

Pasal 12 ayat (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian,penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Tentang Penyidikan itu sendiri KUHAP memberikan definisi sebagai berikut:[22]

“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak Pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”

Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa:

Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan

Kewenangan Jaksa dalam penyidikan dan Penuntutan diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai berikut:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sedangkan didalam Unadang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Republik Indonesia menjelaskan kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian sebagai berikut:

Pasal 16 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara;

c. Untuk kepentingan penyidikan;

d. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

e. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

k. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

l. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Deskriptif yaitu suatu metode penulisan yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan daripada objek yang diteliti dengan menggunakan data atau mengklasifikasinya, menganalisa, dengan menulis data seuai dengan data yang diperoleh dari masyarakat.

Untuk mempertajam penelitian ini maka penulis mempunyai beberapa metode penelitian diantaranya :

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis menggunakan metode penilitian deskriptif analitis, menurut pendapat Komarudin ; “Deskriptif Analitis ialah menggambarkan masalah yang kemudian menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandasakan kepada teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan”[23].

2. Metode Pendekatan

Guna membantu kelancaran dalam penelitian ini, serta menyelesaikan problem yang dapa muncul terutanama yang berkaitan dengan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis Normatif, yaitu suatu pendekatan melalui pencarian data-data seteliti mungkin tentang fakta-fakta hukum atau ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada.

3. Tahap Penelitian

Data primer dan data skunder sebagaimana dimaksud di atas, dalam penelitian ini dikumpulkan melalui dua tahap, yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (Library Research).

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan yaitu[24] :

Penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder dalam bidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yaitu :

1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat[25], terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut : Kitab Undang-Undang Pidana

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer[26], berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan penulisan Skripsi.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder[27], seperti kamus hukum.

b. Penelitian Lapangan (Field Research).

Penelitian lapangan ini diperlukan untuk menunjang dan melengkapi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian untuk mencari dan mendapatkan data-data dengan cara melakukan tanya jawab dengan pihak yang berwenang.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer yang di peroleh dari wawancara masyarakat, dan data skunder yang di peroleh dari kepustakaan. Namun demikian skrisi ini mengutamakan dan menitikberatkan pada data skunder, mengingat penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normative, sedangkan primer hanya bersifat penunjang.

Sumber data yang digunakan terdiri dari data sumber data primer dan skunder, yang diteliti meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahan hukum skunder berupa hasil penelitian yang pernah dilakukan dan pendapat-pendapat para ahli yang bersumbar pada karya tulis ilmiah. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan hukum lain seperti majalah, Koran, dan lain sebagainya yang diharapkan dapat menambah kejelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.

5. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipakai untuk mengumpulkan data dalam penulisan Skripsi ini adalah studi pustaka , yaitu dengan cara mencari dan mengumpulkan data, mengklasifikasi buku-buku referensi, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan atau mengatur tentang tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan. Jelasnya adalah data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk dijadikan sebagai sumber data.

6. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui dokumentasi/studi pustaka tersebut, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode pendekatan deduktif untuk menarik kesimpulan, yaitu suatu metode analisis yang dilakukan dengan cara menganalisis data dari permasalahan yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

7. Lokasi Penelitian

Penelitian untuk penulisan hukum ini dilakukan pada tempat-tempat yang memiliki korelasi dengan masalah yang diangkat pada penulisan hukum ini. Lokasi penelitian dibagi menjadi 2 yaitu :

a. lokasi Kepustakaan (Library research)

1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jln Lengkong Dalam No 17 Bandung.

2) Perpustakaan Universitas Padjadjaran Bandung, Jln. Dipatiukur No. 35 Bandung.

3) Perpustakaan Universitas katolik Parahyangan, Jln. Cimbeuleuit No. 94 Bandung.

4) Perpustakaan Universitas Islam Bandung, Jln Taman Sari No. Bandung

b. Instansi tempat penelitian

1) Kejaksaan

2) KPK

3) KEPOLISIAN

8. Rencana Kegiatan












































G. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui keseluruhan isi dari penulisan Skripsi ini, maka dibuat suatu sistematika secara garis besar yang terdiri dari 5 (lima) bab.

BAB I PENDAHULUAN

Bab pertama ini mebahas mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menjelaskan dan menguraikan mengenai landasan teori dan definisi-definisi yang menyangkut tentang; Tindak Pidana, Tindak Pidana Korupsi, Teori Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Fungsi dan Kewenangan KPK, Penyidikan Yang Dilakukan KPK, Fungsi dan Kewenagan Kejaksaan, Penyidikan Yang dilakukan Kejaksaan, Fungsi dan Kewenangan Polisi, Penyidikan Yang Dilakukan Oleh Kepolisian, Penghentian Penyidikan, Syarat-syarat Penghentian Penyidikan Hukum Pidana

BAB III HASIL PENELITIAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

Pada bab ini penulis akan mengggambarkan beberapa kasus mengenai pelaksanaan penghentian Penyidikan Tindak Pidana, hasil wawancara dari pihak-pihak yang terkait, dan data-data lain yang berhubungan dengan Penghentian tindak pidana

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENYELESAIAN DILUAR PENGADILAN (OUT OF COURT SETTLEMENT) TERHADAP TINDAK PIDANA DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM KASUS CANDRA HAMZAH DAN BIBIT SELAMET RIANTO SELAKU PEJABAT KPK DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Pada bab ini penulis akan menganalisa Proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan dalam kasus candra bibit sudah sesuai dengan mekanisme dan ketentuan hukum yang ada, atau dapat digolongkan sebagai Rekayasa Kejahatan, Proses penghentian penuntutan oleh kejaksaan agung atas permintaan presiden sesuai dengan ketentuan hukum, Dampak yang ditimbulkan dari kasus Candra Bibit terhadap penegakan hukum di Indonesia.

BAB V PENUTUP

Sebagai penuup yang berisi kesimpulan dan saran sekaligus sebagai akhir dari penulisan Skripsi ini.